Bank Indonesia (BI) hari ini meregulasikan kebijakan Domestic Non Delivery Forward (DNDF). DNDF adalah transaksi derivatif valas terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) berupa transaksi forward dengan makanisme fixing yang akan dilakukan di pasar domestik. Tujuan DNDF secara garis besar adalah memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, mempercepat pendalaman pasar valuta asing domestik dan menambah alternatif instrumen lindung nilai bagi para pelaku ekonomi.
Skema transaksi DNDF dapat dilakukan oleh bank dengan nasabah dan pihak asing dalam rangka melindungi nilai atas risiko nilai tukar rupiah. Selanjutnya DNDF, antara bank dengan nasabah dan pihak asing wajib didukung oleh underlying transaksi. Selain itu, nominal dan jangka waktu tidak melebihi nominal dan jangka waktu underlying. Underlying DNDF adalah perdagangan barang dan jasa, investasi, pinjaman, modal dan investasi lain baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, yang termasuk underlying adalah pemberian kredit oleh bank dalam valuta asing untuk kegiatan perdagangan dan investasi.
“Transaksi ada, tetapi hanya selisihnya. Untuk transaksi tidak ada minimal tetapi harus ada underlying. Karena, eksportir importir misalnya bisa yang USD 100.000 atau USD 200.000 kan juga banyak. Itu juga bisa mengikuti transaksi ini tanpa mengeluarkan dollar. Tapi saat membayar dia harus beli. Tapi tidak mendorong dia untuk membeli sekarang. Karena dia merasa sudah secure bahwa kurs-nya itu sudah dapat kepastian,” kata Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI di Gedung BI, Kamis (27/9).
Yoga Affandi, Direktur Financial Market Development Bank Indonesia menyebut bahwa hanya pihak yang memiliki underlying yang bisa melakukan DNDF. “Nasabah, individu dan pihak bank bisa melakukan DNDF. Dan harus memiliki underlying transaksi. Intinya jika memiliki saham, tidak bisa masuk. Namun, orang luar negeri yang memiliki saham bisa karena mereka memiliki uang asing,” kata Yoga.
Lebih lanjut, Nanang menyebut bahwa DNDF ini bisa hanya untuk satu bulan komitmen. Ini akan membuat pasar terproteksi, dan tidak membuat importir menumpuk rupiah. Untuk penyelesaian transaksi DNDF ini dilakukan dengan mekanisme fixing dalam mata uang rupiah.
Mekanisme fixing ini merupakan penyelesaian transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara menghitung selisih antara kurs transaksi forward dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan di dalam kontrak (fixing date).
Kurs acuan yang digunakan adalah JISDOR untuk mata uang AS terhadap rupiah dan kurs tengah transaksi Bank Indonesia untuk mata uang non dollar AS terhadap rupiah. Keuntungan sistem ini adalah memiliki nilai risiko kurs yang sudah terlitigasi, yang artinya transaksi forward tapi penyerahan hanya di selisihnya. Transaksi ini muncul karena beberapa negara berkembang melakukan pembatasan pihak asing yang melakukan transasksi mata uang domestik.
“Tapi untungnya kalau di domestik ini dibayar dengan rupiah dan tidak melibatkan valas. Tujuannya adalah untuk memberikan alternatif instrumen baik domestik dan asing yang terpapar risiko gross. Bila pasar DNDF ini berkembang, maka investor yang harus melakukan hedging, juga bisa melakukan dalam rupiah,” tegasnya. Bank Indonesia sejauh ini belum menetapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait dengan produk DNDF. Namun koordinasi dan pembahasan untuk melegalkan sistem ini terus dilakukan untuk pematangan konsep.
Copyright © BINUS UNIVERSITY. All rights reserved.