TRIBUNNEWS.COM – Pembukaan program studi di sejumlah perguruan tinggi seperti tak terkendali. Perguruan tinggi leluasa membuka program studi meskipun tidak disertai dengan fasilitas dan tenaga pengajar yang memadai. Di sisi lain, kualitas pendidikan mahasiswa dikorbankan.
Di Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, misalnya, terdapat tambahan 19 program studi (prodi) sejak 2013. Universitas itu akan mengusulkan lagi 20 prodi baru, yang saat ini masih berupa minat, pada 2015. ”Minat itu dibuat karena permintaan pasar serta perkembangan ilmu pengetahuan,” ujar Ketua Pusat Jaminan Mutu UB Achmad Wicaksono, pekan lalu.
Total, ada 139 prodi di universitas itu dengan 72.000 mahasiswa. Sebanyak 28 prodi belum mengantongi akreditasi karena masih dalam proses di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Dengan banyaknya jumlah prodi di UB, jumlah mahasiswa baru berkisar 12.000-18.000 orang setiap tahun. Akibatnya, mahasiswa menumpuk hampir di semua fakultas. Mahasiswa harus rela kuliah bergantian hingga malam hari. Gedung Widyaloka, gedung pertemuan utama di UB, pun jadi gedung perkuliahan.
Ika (20), mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional, umpamanya, mengatakan, empat semester pertama harus kuliah di gedung kuliah bersama, bahkan tidak jarang ia harus kuliah malam. ”Tetapi, sekarang, FISIP sudah memiliki gedung baru. Tidak perlu lagi kuliah di gedung kuliah bersama,” ujarnya.
Kondisi itu dibenarkan pihak universitas. Namun, Achmad mengatakan, sejak bertambahnya mahasiswa, UB gencar membangun gedung baru.
Persoalan lain ialah beratnya beban bagi dosen. Seorang dosen mengaku bisa mengajar 7 kelas dalam seminggu atau sekitar 21 SKS seminggu. ”Saya tidak punya waktu mengembangkan diri dan kesulitan mengoreksi tugas mahasiswa. Mutu mahasiswa yang dihasilkan bisa jadi tidak maksimal,” ujar seorang dosen UB.
Akhirnya ditutup
Tak semua prodi di UB berjalan mulus. Program S-3 Program Studi Kajian Lingkungan dan Pembangunan (PDKLP), misalnya, sempat belum bisa mengeluarkan ijazah mahasiswa karena belum mengantongi izin. Akibatnya, kelulusan mahasiswa diundur sekitar setahun hingga akhirnya prodi itu mengantongi izin dan bisa mengeluarkan ijazah pada 2010. Menurut Rektor UB Muhammad Bisri, itu terjadi karena pengelola PDKLP tidak mau dijadikan program ”minat” yang menempel di jurusan pertanian.
Muhammad Bisri, yang baru terpilih sebagai rektor, berniat memperbaiki situasi. UB tengah membuat masterplan berbasis daya tampung.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang dalam beberapa tahun ini membuka empat prodi baru, yakni D-3 Keperawatan, S-1 Ilmu Komunikasi, Ekonomi Keuangan Syariah, dan Desain, juga bermasalah dengan prodi D-3 Keperawatan. Prodi itu dibuka tahun 2009 bekerja sama dengan Jepang yang membutuhkan perawat terlatih untuk merawat warga lansia.
Dekan Fakultas Olahraga dan Keperawatan UPI Yunyun Yuniadi mengatakan, prodi itu seharusnya memiliki 6 perawat pengajar. Saat itu perawat pengajar hanya 3 orang. Pengajar bergelar S-2 hanya 2 orang, padahal syarat mengharuskan 6 orang. ”Akibatnya, kami tak lulus reakreditasi pada tahun 2012,” ujar Yunyun.
Kepala Prodi Keperawatan UPI Iman Imanudin mengungkapkan, sebagai jalan keluar diangkat 4 perawat yang tengah menyelesaikan studi S-2 untuk menjadi pengajar dan diajukan kembali proposal reakreditasi.
Universitas Padjadjaran (Unpad) juga sempat kebablasan menerima mahasiswa. Menurut data administrasi per 3 November 2014, dari 54 prodi S-1, terdapat 22 prodi dengan jumlah mahasiswa dua kali lipat di atas daya tampung, seperti Ilmu Komunikasi, Sastra Indonesia, Ilmu Politik, dan Sejarah.
tu pun, Wakil Rektor I Unpad Engkus Kuswarno menyatakan, Unpad sebetulnya tengah mengerucutkan jumlah mahasiswa di setiap prodi. Universitas itu sempat berlebihan menerima mahasiswa pada awal 2000-an.
Pada 2010, setidaknya ada sepuluh prodi D-3 yang kurang peminat, kemudian dibubarkan, seperti D-3 Pertanian, Perikanan, dan Usaha Perjalanan Wisata. Rektor Unpad Ganjar Kurnia mengatakan, tidak setuju dengan penggunaan D-3 sebagai ekstensi bagi para mahasiswa yang tidak lulus seleksi S-1. ”Diploma 3 itu program terminal yang bertujuan agar lulusan terampil bekerja. Jadi, kami bubarkan,” kata Ganjar.
Universitas Gadjah Mada kini selektif membuka prodi dan berkonsentrasi pada peningkatan kualitas. Wakil Rektor Bidang Akademik Iwan Dwiprahasto mengatakan, UGM pernah terpaksa menutup satu prodi, yakni D-3 Ilmu Hukum, karena mendapat akreditasi C. Sementara itu, program S-2 Kesehatan Kerja yang terakreditasi C digabung dengan S-2 Kesehatan Masyarakat yang berakreditasi A.
Kepentingan pasar
Pakar pendidikan HAR Tilaar mengatakan, pembukaan perguruan tinggi dan program studi di Indonesia lebih berorientasi kepentingan ekonomi. Tak jelas arahnya dalam mendukung kebijakan dan pembangunan. Tak heran jika perguruan tinggi negeri dan swasta bersaing tidak sehat dan saling mematikan.
Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama, Ditjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Hermawan Kresno Dipojono menyatakan, pendirian program studi sebetulnya diperketat. Untuk S-1, misalnya minimal memiliki 6 dosen tetap dan pendidikan dosen minimal S-2. Selain itu, harus ada bukti anggaran minimal Rp 3,5 miliar. Penjaminan mutu internal oleh perguruan tinggi maupun eksternal lewat akreditasi BAN-PT juga harus dipenuhi.
Menurut dia, banyak pengguna yang sudah sadar pentingnya akreditasi. Lulusan perguruan tinggi terakreditasi C mulai tidak dilirik pasar sehingga terbatas peluang lulusannya mendapatkan pekerjaan.
Copyright © BINUS UNIVERSITY. All rights reserved.